Fenomena Mazhab: Haruskah Kita Bermazhab?

Fenomena Mazhab: Haruskah Kita Bermazhab?

Telah terjadi polemik dikalangan umat islam, antara pihak yang mengharuskan  mazhab dengan segolongan kaum muslimin yang menolak mazhab fiqih. Kita sebut saja kedua kelompok kaum muslimin ini dengan  golongan pro dan anti mazhab. Dalam perjalanannya, kedua  kelompok ini kemudian memunculkan kelompok-kelompok ekstrim. Dari golongan pro mazhab  melahirkan satu kelompok yang memandang bahwa setiap orang wajib bermazhab, memilih 1 dari 4 mazhab dan tidak boleh keluar masuk. Dia harus menerima semua rumusan mazhabnya dan dilarang mengikuti mazhab yang lain.Sedangkan golongan anti mazhab, melahirkan golongan yang tidak kalah ekstrim. Sebaliknya, mereka menganggap bermazhab adalah perbuatan bid’ah yang tercela. Bermazhab adalah memecah – belah agama dan seterusnya.  Meski demikian –alhamdulillah- tetap ada kaum muslimin yang mengikuti ulama’-ulama’ yang hanif bisa menyikapi masalah ini dengan baik. Mereka mendudukkan perkara mazhab dengan benar, menghindari sikap fanatisme ataupun penolakan yang berlebihan, sehingga mereka mendapatkan faedah dari hal ini. Sebelum kita membahas hal tersebut lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui sesuatu dari kondisi kaum muslimin sekarang ini. Dari segi keilmuan, Secara garis besar kaum muslimin itu terbagi kepada empat kelompok. Yaitu:
Pertama: Mujtahid, kedua: Ahlu Nazhar, ketiga: Muttabi’ dan keempat orang awam (muqallid). 

Seorang mujtahid adalah orang yang sudah menguasai Al-Qur’an, sunnah Rasulullah dan ilmu-ilmu syariah lainnya sehingga menjadikannya bisa berijtihad secara benar dalam menggali hukum berdasarkan dalil Al-Qur’an dan sunnah. Apabila seseorang sudah mencapai tingkatan mujtahid, maka diharamkan baginya untuk taqlid kepada siapa pun karena dia telah memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari Al-Qur`an dan sunnah oleh dirinya sendiri.

Kelompok kedua adalah orang-orang yang tidak sampai kepada derajat mujtahid, namun dia memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil-dalil yang digunakan oleh para mujtahid. Dengan pengkajiannya dia dapat membandingkan manakah dalil yang lebih kuat di antara dalil-dalil yang digunakan oleh para imam dalam suatu masalah yang dipersilisihkan. Orang yang seperti ini disebut dengan ahlu nazhar dan baginya dibolehkan mengambil pendapat yang lebih kuat berdasarkan pengkajiannya. Artinya, dalam suatu masalah dia mengikuti madzhab Syafi’i, tapi dalam masalah lain dia mengikuti madzhab Hambali dan demikian seterusnya.
Pengambilan pendapat tersebut didasarkan pada kekuatan dalil dan bukan kepada selera atau alasan lainnya. Adakalanya juga pada suatu saat dia mengikuti madzha Syafi’i, tapi pada waktu berikutnya dia mengikuti madzhab Hanafi karena bedasarkan pengkajiannya didapatkan bahwa dalil-dalil madzhab Hanafilah yang dipandang lebih kuat. Orang-orang dalam tingkatan ini biasanya memegang madzhab tertentu sebagai patokan mengistinbath hukum, walaupun pada realitasnya pendapat mereka tidak senantiasa sama dengan para imam madzhabnya.

Kelompok ketiga adalah muttabi’, yaitu orang-orang yang memegang suatu pendapat serta mengetahui dalil yang dijadikan landasan dari pendapat tersebut, tetapi jika diajukan padanya beberapa masalah yang diperselisihkan dan diminta untuk mengambil salah satu pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil, dia tidak mampu melakukanya.

Kelompok keempat adalah kelompok kebanyakan, yaitu orang-orang awam yang mengamalkan ajaran Islam, namun tidak mengetahui dalil-dalilnya, dia melaksanakan shalat shubuh dua rakaat, zhuhur empat rakaat dan sebagainya, mereka pun berpuasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan sebagainya, sekalipun mereka tidak mengetahui dalilnya. Bagi orang-orang dalam kelompok empat ini hendaklah mengikuti saja petunjuk para ulama atau para ustadz yang dipandang baik (kredibel) dalam keilmuan, keshalihan dan ketakwaannya agar dia bisa selamat dari ketersesatan. Di samping dia pun wajib meningkatkan kemampuan ilmunya hingga mengetahui dalil yang menjadi landasan kewajiban-kewajiban yang dia tunaikan.
Sesungguhnya untuk kelompok ketiga dan keempat ini tidak tepat jika mereka disebut telah bermadzhab dengan madzhab tertentu, karena sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti (taqlid/ittiba) kepada seseorang alim yang mereka pandang mumpuni dari sisi keilmuan dan keshalihannya. Bermadzhab itu tepatnya ditujukan kepada kolompok nomor dua, karena mereka menjadikan madzhab imam mereka sebagai acuan dalam menyimpulkan sebuah hukum. Karena madzhab sendiri secara bahasa artinya tempat pergi, atau tempat bertitik tolak, atau acuan dalam menyimpulkan berbagai hukum syariat.
Jika kita termasuk dalam kelompok ini, maka kewajiban kita adalah mencari ulama yang bisa dijadikan panutan dalam ibadah berdasarkan kriteria ketakwaan dan keilmuannya dengan senantiasa meningkat keilmuan kita dalam bidang syariat, sehingga yang tadinya tidak mengetahui dalilnya menjadi mengetahui dalilnya, dan selanjutnya bisa membandingkan di antara dalil-dalil dari masalah yang diperselisihkan, sehingga kita tidak tersamuk orang yang fanatik buta, tapi dapat menerima kebenaran dari mana saja datangnya selama kebenaran tersebut bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat.
Wallahu A’lam bishawwab.

Beberapa penjelasan
1. Mazhab menyebabkan perpecahan

Banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai anti mazhab.Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam. Kalau kita hendak membuat perumpamaan, mazhab tidak ubahnya dengan software bagi pc (komputer). Kita ketahui, sebuah pc ada yang menggunakan microsof Windows, ada yang menggunakan Apple Machintos, bahkan ada yang menggunakan Linux yang freeware. Semuanya berguna buat manusia sebagai sistem operasi PC, di mana masing-masing punya kelebihan sekaligus kekurangan. Kalau dalam satu komunitas terdapat beberapa sistem operasi, bukan berarti di dalamnya telah terjadi perpecahan atau peperangan. Dan meski berbeda sistem operasi, masing-masing PC tetap bisa terkoneksi dalam satu jaringan.

2. Mazhab adalah musuhnya Sunnah

Mereka berkata :  Alangkah buruknya orang yang mengikuti pendapat mazhab dan menyia-nyiakan hadits shahih. Apakah mereka mengutamakan mazhab dari ucapan Nabi ? padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara melebihi suara Nabi.” (al-Hujuraat: 2)
Perkataan seperti diatas, bisa mengandung kebenaran namun juga bisa mengandung kesalahan fatal. Sisi benarnya, kita memang harus mendahulukan hadits dari pada perkataan manusia. Itu jelas dan tegas sekali, tidak ada seorang muslim yang hanif kecuali dia pasti akan mengakuinya. Tapi pernyataan itu akan jadi sangat tidak benar dan inilah yang sering terjadi. Yaitu ketika mereka menabrakkan ‘hadits’ dengan pendapat ulama’ mazhab. Padahal apa? Sesungguhnya  dia sedang menabrakkan tafsiran si anu tentang hadits tersebut  dengan mazhab ! Bahkan, yang lebih buruk lagi jika perkataan mereka ini bermakna persangkaan bahwa  para salaf jahil ilmu hadits atau bahkan dikatakan menuruti ro’yu (akal pikiran) dan meninggalkan hadits. Ini adalah sebuah tuhmah (tuduhan) yang teramat keji kepada para ulama. Seolah-olah ulama mazhab itu jahil karena tidak paham membedakan mana hadits shahih dan dhaif. Rupanya di zaman sekarang ini ada oknum-oknum yang ingin menjatuhkan citra para ulama fiqih. Dan kemudian dikesankan kalau ulama fiqih itu tidak paham hadits, atau malah dituduh sebagai orang yang kerjanya memakai hadits yang dhaif. Semua ulama mazhab sudah pasti mendahulukan hadits shahih. Bahkan para pendiri dan ulama seniornya banyak yangberkapasitas sebagai muhaddits. Tidak ada rumusnya kalau ada ulama, apalagi mujtahid mutlak semacam Imam Asy-Syafi’i misalnya, kok dibilang tidak mengerti hadits atau tidak mau menggunakan hadits shahih. Sementara jarak waktu yang memisahkan antara beliau dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya terpaut 140 tahun saja. Sementara era keemasan para muhadditsin seperti Al-Bukhari dan lainnya, baru dimulai 200 tahun sepeninggal Rasulullah. Jadi era para imam mazhab yang empat itu lebih dekat ke Rasulullah  dari pada era para muhaddits besar. Secara nalar yang sederhana, kemungkinan keselamatan periwayatan akan lebih baik kalau sanadnya tidak terlalu panjang. Tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada Al-Quan dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama Mas Paijo, mas Paimin, mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti mazhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah dan Al-Wakijaniyah. Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab. Kalau tidak mengacu kepada mazhab empat, maka dia akan mengikuti pendapat dari mazhab ulama’ sekarang, atau bahkan yang berbahaya  dia bisa bermazhab kepada dirinya sendiri yang jahil. Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari atau tanpa disadarinya.

3. Wajib bermazhab satu saja dan haram ‘kemana-mana’

Pendapat yang mengatakan bahwa seseorang wajib hukumnya bermazhab dan tidak boleh menerima pendapat dari luar mazhabnya termasuk perkataan yang berlebihan. Jika hal ini dikaitkan dengan pertimbangan untuk disiplin ilmu, mungkin bisa dibenarkan. Tetapi jika hal ini dijadikan sebagai kewajiban baru dalam agama, maka hal inilah yang harus diluruskan.  Allah dan Rasulullah tidak pernah mewajibkan kita untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Bahkan para shahabat Rasulullah dahulu pun tidak pernah diperintahkan oleh beliau untuk merujuk kepada pendapat salah satu dari shahabat bila mereka mendapatkan masalah agama. Maka tidak pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah mazhab. Bahkan pada hakikatnya, setiap mazhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga.Lihatlah bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi”i merevisi mazhab qadim-nya dengan mazhab jadid. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang masih menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan paling masyhur dari mereka adalah:”Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi mazhabku. “Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf (belum berpendapat) atau memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat. Maka perubahan pendapat dalam mazhab itu sangat mungkin terjadi. Bila di dalam sebuah mazhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.
Demikian penjelasan tentang permasalahan ini. Wallahu’alam.
Sumber: Diambil dari berbagai sumber



Bagikan artikel ini ke: Facebook Twitter Google+
Oleh Unknown | Minggu, Mei 12, 2013 |